Menembus Lumpur, Menyalakan Cahaya: Kisah Guru Agama Buddha di Pedalaman Balangan

Jakarta - Fajar baru saja menyibak cakrawala ketika suara ayam berkokok bersahut-sahutan di Desa Oren, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan. Di sebuah rumah sederhana, Yayun seorang Guru Pendidikan Agama Buddha bersiap menempuh perjalanan panjang. Sepatu boot dikenakan, jas hujan disampirkan, dan motor tua dipanaskan.
Hari-harinya selalu dimulai dengan tekad yang sama menembus jalan berlumpur sejauh 15 kilometer demi tiba di Sekolah Dasar Kecil (SDK) Hambata. Bagi banyak orang, jalan tanah yang licin, becek, dan tak jarang terputus oleh hujan deras adalah alasan untuk menyerah. Namun tidak bagi Yayun. Di ujung perjalanan, lima murid kecil menantinya dengan harapan akan pelajaran dan doa.
“Ini berkah sekaligus karma baik. Saya bisa mengajar siswa Buddha, membimbing mereka dengan nilai-nilai budi pekerti, moralitas, dan kebijaksanaan,” tutur Yayun penuh keikhlasan.
Di sekolah sederhana itu, ia membina tiga murid kelas lima dan dua murid kelas enam. Jumlahnya memang kecil, tapi semangat yang ia titipkan pada mereka jauh lebih besar dari luasnya ruang kelas yang ia masuki setiap pagi. Selain mengajar, Yayun juga menyalakan semangat dengan musik dan kesenian—menyemai mimpi lewat nada-nada sederhana.
Kepala SDK Hambata, Akhmad Baihaqi, mengakui betapa besar perjuangan para guru, terlebih ketika musim hujan tiba. Jalanan yang sudah sulit dilalui kendaraan sering memaksa para pendidik, termasuk Yayun, untuk berjalan kaki. “Kami bersyukur ada guru Agama Buddha. Siswa jadi bisa belajar sesuai agamanya. Itu memberi semangat besar bagi kami meski tantangan di lapangan tidak ringan,” ujarnya.
Di pedalaman Balangan, jalan mungkin berlumpur, jarak mungkin melelahkan, namun semangat Yayun tak pernah padam. Sebab ia percaya, pendidikan adalah cahaya dan demi cahaya itu, ia rela berpeluh, menembus sunyi, dan menyulam harapan di tengah keterbatasan.