Persoalan Garam Butuhkan Keseriusan Pemerintah
Jakarta - Persoalan garam membutuhkan keseriusan pemerintah, menjadikannya sektor strategis, dan menumbuhkan daya saing petani garam.
"Menurut hemat saya persoalan garam dikarenakan kurang gigihnya kita memanfaatkan dan memperjuangkan potensi tambak garam yang kita miliki," kata Prof Indrajaya, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB)
Ia menjelaskan, impor garam terjadi karena jumlah produksi nasional tidak mencukupi tingkat konsumsi. Teknologi untuk memproduksi garam tergolong rendah (low tech), bukan teknologi tinggi (high tech). Sehingga masalah garam bukan di teknologi, tapi kemauan untuk mandiri atau swasembada yang lemah.
Ia menyebutkan, tambak garam di Indonesia luas, tersebar di sejumlah daerah seperti Madura, NTT, Sulawesi Selatan dan lainnya. Tapi kurang serius menggarap potensi itu.
Kebutuhan akan garam nasional (2014) 3,61 juta ton (garam konsumsi 1,48 juta, industri 2,13 juta). Pada 2017 diprediksi kebutuhan garam nasional 4,5 juta ton (2,3 juta ton garam industri dan 2,2 juta ton garam konsumsi). Produksi garam nasional (2014) 2,19 juta ton (dari PT Garam 315 ribu ton, dari rakyat 1,888 juta ton. Luas lahan tahun 2015 25.830 hektare).
"Mestinya kita serius mengurus dari proses produksi sampai ke distribusi," katanya.
Menurutnya, untuk meningkatkan produksi garam, pemerintah harus membantu para petani, karena kalau tidak dibantu, maka petani garam Indonesia tidak akan kompetitif. Selain itu, tambak garam yang ada saat ini perlu dibenahi, juga infrastrukturnya.
Ia menjelaskan, sistem produksi garam di Indonesia menggunakan sistem evaporasi yakni air laut dialirkan ke dalam tambak kemudian air yang ada dibiarkan menguap setelah beberapa lama, akan tersisa garam yang mengendap di dasar tambak tersebut.
Menurutnya, dalam teknologi tersebut, perlu aliran air laut yang masuk ini diatur atau dijamin ke semua tambak.
Setelah dipanen juga perlu ada jalan untuk mengangkut garam tersebut. Selain itu, dasar tambak juga perlu diberi alas atau terpal agar tidak lagi seperti dulu yang tradisional, alasnya adalah tanah.
"Nah ini semua butuh investasi awal yang perlu mendapat dukungan pemerintah," katanya.
Ia mengatakan, tambak garam di Indonesia boleh dikatakan sangat tradisional, sehingga perlu sedikit sentuhan teknologi, misalnya dengan pemberian alas atau terpal tadi sehingga kualitas garam yang dihasilkan akan lebih baik dari yang ada saat ini. Saat ini garam yang dihasilkan umumnya kotor, bercampur dengan tanah atau kotaminan lain.
Menurutnya, India mampu memproduksi garam dengan sistem yang praktis dan tetap ekonomis. Maka, Indonesia juga harus bisa. Berbeda dengan Australia, agak lain, karena garam ditambang oleh mereka.
"Tambang garam di Australia jadi praktis tinggal keruk, masukan kem karung, lalu dijual," katanya.
Indra menjelaskan, India dan Indonesia sama-sama menggunakan teknologi evaporasi dalam memproduksi garam. India mampu karena menangani dengan serius dan sungguh. India mengganggap industri garam sebagai lahan untuk memberi kesempatan kerja kepada rakyat.
"Saya pernah melihat di bagian selatan India tambak garam yang luasnya sepanjang mata memandang terkelola dengan baik, pasokan airnya dari air Samudra Hindia, daerahnya panas seperti di NTT dan curah hujannya rendah. Saya pernah lihat tambak garam di India dan NTT sama saja," kata Indra. (Antara)