Pertumbuhan Ekonomi Berkeadilan
Oleh : Prof.Dr. Rully Indrawan, M,si.
Ketua Pergubi (Persatuan Guru Besar/Profesor Indonesia,
Eks Sekretaris Menteri Koperasi dan UKM Republik Indonesia
United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD, 2020) menyebutkan bahwa Covid-19 memukul negara-negara berkembang pada saat mereka sedang berjuang dengan beban utang yang tidak berkelanjutan dari tahun ke tahun.
Pada akhir 2018 total stok utang negara-negara berkembang mencapai 191 persen (atau hampir dua kali lipat) PDB gabungan mereka, level tertinggi yang pernah tercatat.
Krisis utang negara berkembang yang sudah berlangsung sebelum goncangan Covid-19 memiliki dua hal yang patut diketengahkan dalam konteks perdebatan tentang pengurangan utang untuk negara berkembang setelah setelah goncangan Covid-19.
Pertama, krisis utang yang sedang berlangsung tidak terbatas pada negara-negara berkembang yang termiskin saja, tetapi juga berpengaruh pada semua kategori pendapatan.
Kedua, pada umumnya tidak disebabkan oleh salah urus ekonomi di dalam negeri, tetapi disebabkan oleh salah urus ekonomi dan keuangan di tingkat global.
Pada April lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan kerugian akibat pandemi virus corona (covid-19) akan mencapai 9 triliun dollar AS pada 2020-2021, atau setara Rp144.000 triliun (kurs Rp 16.000 per dollar AS).
Angka tersebut, jauh lebih besar dari gabungan Produk Domestik Bruto (PDB) Jerman dan Jepang, bahkan tidak ada satupun negara yang selamat dari krisis yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Berbagai negara mengalami ketidakstabilan di sektor ekonomi akibat krisis yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19, tak terkecuali Indonesia.
Pada sektor kesehatan seluruh negara di dunia baru bisa bertindak setelah pandemi Covid-19 berjalan selama setahun. Penyebaran virus yang cepat dan mudah menciptakan krisis karena keterbatasan alat dan tenaga medis.
Begitupun dari segi sosial, luasnya penularan Covid-19 menyebabkan berhentinya aktivitas ekonomi yang menyerap tenaga kerja di berbagai sektor.
Di samping itu, yang paling terkoreksi adalah sektor ekonomi. Kinerja ekonomi menurun tajam yang menyebabkan konsumsi terganggu, investasi terhambat, dan ekspor-impor terkontraksi. Sehingga pertumbuhan ekonomi menurun tajam.
Kemudian, pada sisi keuangan terdampak melalui kanal menurunnya kinerja sektor riil, dimana NPL, Profitabilitas, dan Solvabilitas perusahaan mengalami tekanan.
Akbiat krisis ini, disparitas kemiskinan di perkotaan dan perdesaan masih tinggi. Pada maret 2020, tingkat kemiskinan di perdesaan mencapai 7,38%, sedangkan di perkotaan mencapai 12,82%.
Begitu juga dengan tingkat pengangguran, jika selama lima tahun ini sempat menurun, tetapi pada 2021 bisa mengalami kenaikan menjadi 9,35 juta jiwa.
Dalam catatan Kemenaker RI dan BPJS ada sekitar 2,8 juta pekerja terkena dampak pandemi Covid-19. Hal ini akibat terhentinya operasional perusahaan tempat mereka bekerja.
Karena itu, dalam rangka pemulihan ekonomi, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mencatat kisaran total biaya pemulihan ekonomi nasional mencapai Rp695,20 triliun di luar anggaran kesehatan sebesar Rp87,55 triliun.
New Normal Ekonomi
Pandemi Covid-19 tidak bisa dibiarkan, tapi harus menciptakan pola tatanan kehidupan baru (new normal) yang bisa mengubah prilaku kehidupan perekonomian masyarakat.
Hal ini bisa dilakukan dengan menguatkan budaya komunal yaitu keseimbangan budaya baru yang cenderung pada lingkungan awal. Selain itu, preferensi kebutuhan termasuk kebutuhan keamanan dan kesehatan yang mengubah cara produksi secara masif.
Di samping itu, kegiatan yang mendasarkan pada digital yang membawa setiap individu ataupun perusahaan dalam interaksi ekonomi seluruh bangsa tanpa batas.
Kemudian, perlunya interaksi sosial yang kolaboratif untuk menumbuhkan empati penuh dari masyarakat.
Karakteristik perekomian masa depan dapat menciptakan alih generasi yang menyebabkan posisi tenaga kerja dengan upah dan pendapatan tinggi, keterampilan luas dengan berbagai disiplin, pembelajaran tanpa kenal waktu, dan pengelolaan pola kerja kolaboratif.
Industri dengan pengorganisasian produksi fleksibel dengan pertumbuhan didorong oleh: inovasi/pengetahuan; teknologi digital (termasuk e-commerce); Sumber kompetisi pada inovasi, kualitas, waktu, dan biaya; mengutamakan research and development; serta mengembangkan aliansi dan kolaborasi dengan bisnis lainnya.
New Normal Ekonomi juga akan menciptakan karakteristik pasar yang dinamis, kompetisi global, bentuk organisasi yang cenderung membentuk jejaring/kolaborasi.
Pada sektor ekonomi digital, Bank Indonesia mencatat pada Maret 2020, volume transaksi melalui e-commerce di Indonesia mencapai 98,3 juta atau meningkat 18,1% (mtm) dengan total nilai transaksi Rp20,9 triliun meningkat 9,9% (mtm).
Peningkatan transaksi terbesar bersumber dari kebutuhan primer/makanan dan minuman (52%), perlengkapan sekolah (34%), dan perawatan pribadi seperti pensanitasi tangan dan masker (29%).
Ekonomi Berkeadilan
Ekonomi berkeadilan sejalan dengan visi 2045: “Indonesia Menjadi 5 Besar Kekuatan Ekonomi di Dunia”.
Perlu ada strategi kebudayaan untuk pencapaian visi tersebut yakni, tujuan nasional, strategi kebudayaan, dan visi 2045.
Revolusi Mental, menjadi upaya mengatasi patalogis sosial pasca reformasi serta menyiapkan daya saing bangsa yang lebih baik.
Kemudian, Nawacita, menuju pembangunan secara merata untuk membangun konektivitas “keindonesiaan” yang lebih berkeadilan.
Yang tidak kalah penting adalah Social-Entrepreneurship yang sudah dikenal ratusan tahun yang lalu diawali antara lain oleh Florence Nightingale (pendiri sekolah perawat pertama) dan Robert Owen (pendiri koperasi).
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan” UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1.