Maksimalkan Pendapatan Pajak
Jakarta - Kementerian Keuangan perlu meninjau kembali kebijakan perpajakan, karena terlalu bermurah hati dalam memberikan pengecualian dan diskon pajak. Akibatnya hutang bertambah dan laju perekonomian menjadi rendah.
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyoroti pendapatan perpajakan Indonesia yang rendah dibanding negara anggota G20.
“Tingkat kepatuhan pajak kita buruk. Dengan berkurangnya 8 juta orang pembayar Pajak Penghasilan (PPh), maka rasio perpajakan Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB hanya 11,9 persen di tahun 2018, angka tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata negara OECD yang sebesar 34,3 persen,” ujar Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria dalam Peluncuran Survei Ekonomi OECD Indonesia, belum lama ini.
OECD menilai pemerintah Indonesia cenderung melakukan pengurangan perpajakan dalam jangkauan yang luas, bahkan terlalu murah hati dalam memberikan pengecualian dan diskon pajak.
Contoh, sektor properti tercatat memiliki kontribusi pajak yang cukup rendah, yakni hanya 2 persen dari keseluruhan pendapatan pajak. Jumlah tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata kontribusi sektor properti terhadap penerimaan perpajakan negara OECD yang mencapai 6 persen. OECD pun mendorong pemerintah untuk meninjau kembali persoalan ini.
Sehubungan itu, Gurria memberikan rekomendasi pada pemerintah agar nanti setelah perekonomian Indonesia mulai pulih dari resesi, otoritas fiskal perlu mendorong penerimaan perpajakan.
“Jika penerimaan pajak bisa dimaksimalkan, maka hal tersebut akan sangat membantu kondisi keuangan negara. Dan, akan membantu menyelesaikan masalah kesenjangan yang terjadi sekaligus memberikan kontribusi terhadap kondisi keuangan negara,” ujar Gurria.
OECD menilai pemerintah perlu meningkatkan tarif pajak untuk sektor lain, misalnya produk tembakau dan sektor properti.
Upaya meningkatkan kepatuhan pajak akan sangat membantu negara meningkatkan pendapatan, selain itu juga bisa menutup celah dan meningkatkan kepatuhan terhadap pajak penjualan.
“Hal ini bisa menjadi salah satu cara untuk membantu menopang pendapatan negara,” tegas Gurria.
Ketua Umum Pengawas Kejahatan Pajak Indonesia, Muhammad Irwan.
Senada dengan Sekjen OECD, Ketua Umum Pengawas Kejahatan Pajak Indonesia, Muhammad Irwan menilai rasio pajak Indonesia saat ini adalah yang terendah di antara begara-negara OECD. Sementara menurut Bank Dunia, rasio pajak Indonesia terendah dibanding negara berkembang lainnya seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Brasil yang rata-rata mencapai angka 27,9 persen.
Rasio pajak yang rendah itu mengakibatkan pemanfaatan pengeluaran keuangan negara untuk masyarakat (public spending) menjadi yang terkecil pula di antara negara berkembang lainnya. Rata-rata negara lain menggunakan PDB sekitar 32 persen untuk public spending sementara Indonesia hanya menggunakan hampir separuhnya yakni 16-17 persen.
“Dengan rendahnya penggunaan PDB tersebut, bisa terbayangkan perbandingan laju perkembangan ekonomi dan pembangunan Indonesia dibandingkan negara maju lainnya di dunia,” kata Muhammad Irwan.
Satu hal yang menyedihkan menurutnya, sesungguhnya Indonesia memiliki rasio yang sangat besar antara potensi penerimaan dan pendapatan pajak dengan realisasi penerimaan pajak. Namun sebaliknya, Kementerian Keuangan tetap memberikan kebijakan yang kontradiktif dengan peningkatan penerimaan itu sendiri.
Relaxasi pajak dalam bentuk penurunan tarif, tax holiday dan kebijakan sejenis hendaknya terukur sehingga tidak menambah beratnya beban pemulihan ekonomi nasional kini. Jika ini berlangsung terus, akan memberikan efek yang kurang baik terhadap pertumbuhan Indonesia secara keseluruhan, karena muara dari kebijakan itu adalah bertambahnya hutang yang konon jumlahnya ada target tertentu.
“Apakah kebijakan pajak Indonesia yang cenderung berseberangan dengan pencapaian penerimaan secara matematis adalah upaya mengejar target hutang,” tanyanya.