BURUK MUKA CERMIN DIBELAH
Oleh : Junaidi P.Hasibuan
Situasi dan kondisi negeri ini semakin diambang pintu kekacauan. Kondisi ekonomi sudah masuk jurang resesi. Krisis kepercayaan kepada pemerintah sudah berada pada titik nadir paling rendah.
Barangkali apa yang pernah disampaikan Presiden Jokowi tiga kali menyebut Ruwet (komplikasi) memang nyata. Buktinya, segala daya upaya telah dilakukan pemerintah untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi, hasilnya tak pernah melewati 5 digit dari angka 5 persen.
Konon, jika hanya 5,2 persen pertumbuhan ekonomi, tanpa campur tangan dan keberadaan pemerintah pun, pertumbuhan ekonomi kita memang tumbuh dikisaran angka 5 persen.
Lalu apa yang menjadi soal sehingga pemerintah tak begitu digdaya mendadani kesejahteraan rakyat? Jangan-jangan negeri ini memang salah urus oleh pejabat dan elit politik amatiran yang bermental garong dan koruptor?
Boleh jadi itu pulalah yang menjadi alasan, mengapa investor berpikir 1000 kali mempercayai kredibilitas pemerintah dalam mengelola negara ini.
Pepatah mengatakan, buruk muka, cermin dibelah. Itulah yang dilakukan pemeritah ketika mensyahkan undang-undang sapu jagad bernama Omnibuslow. Bukannya memperbaiki sistem politik dan sistem bernegara yang korup, malah hak dan kesejahteraan kaum tenaga kerja diobral murah, melalui pengesahan Undang-undang Omnibuslow, demi carmuk kepada investor.
Presiden Jokowi sering mengatakan, kita harus membuat terobosan yang out of the box (diluar kebiasaan). Betapa pemerintah dengan kepercayaan dirinya, telah mengambil kebijakan-kebijakan yang tidak normal demi menggombal investor.
Sebut saja paket kebijakan ekonomi, paket yang dikeluarkan secara beruntun sampai 18 paket oleh opung kita Menko Perekonomian Darmin Nasution tahun lalu, diangap banyak menabrak regulasi lain. Isinya ada gado-gado berbagai macam relaksasi investasi, perpajakan, kebijakan suku bunga. Namun sampai hari ini, tetap saja kebijakan itu tidak mampu mendongkrak ban roda konomi yang sudah lama kempes.
Ada pula kebijakan Tax Amnesty. Pemerintahan Jokowi nekat mengambil kebijakan ini dengan harapan uang haram yang berada dii luar negeri, diharapkan kembali masuk untuk memutar roda ekonomi dalam negeri. Pemerintah melobi DPR, UU tax amnesty lalu disyahan DPR dengan tujuan, untuk menarik dana dari seluruh penjuru dunia, mengalir deras masuk ke Indonesia.
UU ini bahkan disebut pencucian uang yang dilegalkan. Pengampunan pajak diberikan kepada para pengemplang wajib pajak besar, agar dana mereka yang selama ini berada di bank luar negeri, bisa kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Tapi apa yang terjadi, upaya yang begitu besar ini tidak mampu menopang kekuatan pondasi ekonomi kita, baik dari jumlah investasi, maupun dari kuantitas serta kualitas pemasukan keuangan dari sektor pajak.
Padahal regulasi tax amnesty ini adalah “proyek cuci uang” terbesar di dunia. Bayangkan, jumlah uang yang diincar saat itu lebih dari 10 ribu triliun rupiah. Rencana penarikan uang besar besaran tersebut, tidak lagi memperdulikan dari mana asal muasal dananya.
Apakah dari kejahatan pajak, apakah dari kejahatan keuangan pembobolan bank, itu semua tidak lagi dipedulikan. Yang penting uang masuk, bayar denda, maka riwayat sumber uang tersebut, tidak lagi dipertanyakan.
Namun apa daya, ujung-ujungnya tidak ada dirty money yang dapat dihalalkan untuk mendanai pembangunan ekonomi sebagaimana mimpi Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dengan kata lain, tidak ada investor yang percaya, bahwa sistem regulasi di Indonesia bisa mencuci uang sampai sebersih itu.
Semua kenekatan Pemerintahan Jokowi mengambil kebijakan itu, dalam rangka menggairahkan ekonomi. Lalu apa yang terjadi kemudian? Jumlah utang luar negeri malah menggunung dengan total Rp 5.172,48 triliun, sampai bulan Juni 2020.
Begitu juga utang BUMN, naik derastis. Bahkan pemerintah telah berutang triliunan rupiah kepada lembaga keuangan dalam negeri semisal, utang dari dana haji, utang dana Jamsostek, dana taspen, dana asabri, yang makin lama makin ludes ditelan surat utang negara (SUN).
Semestinya pemerintah berkaca kepada kondisi ekonomi rakyat menengah ke bawah saat ini. Ada jutaan kaum buruh yang terlantar karena di PHK, mereka yang masih bekerja tidak menerima pengesahan Undang-undang Omnibuslow. Ada puluhan juta rakyat miskin perkotaan yang bekerja serabutan di sektor informal.
Ketidak mampuan pemerintah menangani persoalan kesejahteraan rakyat dan kesejahteraan buruh di masa pandemi ini, adalah cermin dari kegagalan pemerintah mengelola negara ini.
Jangan salahkan virus corona, sebab seluruh dunia mengalaminya. Lagi pula, jauh-jauh hari sebelum pandemi ini datang, postur tubuh ekonomi kita memang sudah sakit-sakitan stadium dua. Alasan klasik pasukan influencer selalu berasumsi pada kondisi peekonomian global yang belum sehat.
Maka begitu covid 19 datang, kondisi ekonomi nasional sudah masuk stadium tiga. Pemerintah seolah-olah panik bak kebakaran jenggot, lantas buru-buru mensyahkan undang-undang sapujagat ini pada malam hari. Lantas apakah investor akan tergiur, belum tentu.
Lalu apalagi yang mau dilakukan Bapak Jokowi ditengah kondisi ekonomi nasional yang sudah masuk jurang resesi saat ini? Bapak adalah presiden yang dikenal paling merakyat sepanjang sejarah negeri ini.
Rembuk Nasional dengan mengundang para tokoh-tokoh nasional yang bersebrangan dengan kebijakan pemerintah saat ini, adalah pilihan yang bijaksana. Berdialoglah dari hati kehati, mau dibawa kemana arah kebijakan negara ini.
Negara ini merdeka dari hasil rembuk nasional yang dikomandoi Bapak Presiden Ir. Soekarno. Janganlah mentang-mentang partai penguasa lebih dominan di gedung perwakilan rakyat sana, lantas sesuka hati paduka membuat aturan yang bertentangan degan hatinurani rakyat.
Ada jutaan rakyat dan kaum buruh yang sudah stres tingkat tinggi dan sengsara di masa pandemi ini. Sudah semestinya presiden berkaca pada situasi dan kondisi rakyat saat ini.
Hentikanlah pembahasan Rancangan Undang-undang Omnibuslaw. Sebab Kepala Daerah pun banyak yang merasa kewenangannya terpangkas karena undang-undang tersebut.
Yang jelas bahwa, seluruh kebijakan yang sebelumnya dibuat dan dijalankan oleh pemerintahan Jokowi, bukanlah kebijakan yang out of the box yang mampu membuat happy para pengusaha dan investor. Paket kebijakan ekonomi, tax amnesty, omnibuslaw, bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh para pemilik modal.
Sesungguhnya, pengusaha dan pemilik modal hanya meminta ketegasan Bapak Presiden yang mulia, untuk memperbaiki sistem politik yang korup dan membasmi garong dari negeri ini.
Maka tak salah jika ada yang mengatakan semua kebijakan skenario untuk mengundang investasi berunjung pada kebuntuan. Sebab masalah paling mendasar dari keragu-raguan investor bukanlah masalah regulasi semata. Masalah yang harus disadari pemerintah ada pada TRUST & BELIEVE Investor kepada Pemerintahan Jokowinya.
Dunia internasional bahkan sudah tak percaya dengan kepemimpinan Presiden Jokowi. Logikanya, dalam usaha biro iklan skup kecil saja, apakah ada pengusaha yang mau mengimvestasikan dananya di dalam sebuah kantor yang dikelola dan dikuasai oleh maling dan kucing garong? jawabannya tidak ada.
Penulis adalah Wartawan Senior, Sekretaris Jenderal DPP Coruption Investigation Committe (CIC).