Ketua Umum DPP Peradin, Ropaun Rambe : Kondisi Hukum Saat Ini Amburadul, Banyak UU yang Tumpang Tindih
Jakarta - Berbicara hukum, tentu tidak lepas dari peraturan perundang-undangan. Karena itu kepastian hukum berawal dari bagaimana kualitas undang-undang itu sendiri.
“Jadi, jangan pernah mengganggap sepele persoalan undang-undang. Pandangan bahwa tidak penting bagaimana undang-undangnya, asalkan implementasinya jelas perlu dikoreksi karena jelas undang-undang akan mempengaruhi, membentuk, dan mendikte implementasinya,” kata Ketua Umum DPP Perkumpulan Advokat Indonesia (Peradin), Ropaun Rambe.
Undang-undang haruslah spesifik, jelas, detil sehingga tidak menyisakan ruang untuk multiinterpretasi dan loop holes untuk dimain-mainkan beragam kelompok kepentingan.
“Kita memerlukan undang-undang yang berkualitas. Peraturan perundang-undangan berguna untuk menciptakan kehidupan bernegara yang tertib dan aman serta dapat menjadi pedoman hukum bagi warna negara,” tegas Ropaun.
Ia juga mengatakan masalah tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan perlu segera diatasi. Banyak undang-undang yang isinya saling bertentangan satu dengan lainnya disebabkan tidak dilakukannya sinkronisasi dan harmonisasi.
“Selama ini dalam proses melahirkan sebuah undang-undang, penyusun kerap tidak melihat substansi undang-undang yang lain,” tuturnya.
Ropaun mencontohkan tentang UU Advokat, di undang-undang ini disebutkan yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat.
“Tapi UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi berkata lain. Penyelenggaraan pendidikan advokat adalah hak perguruan tinggi hukum. Jadi mana yang mau kita patuhi?,” Tanya Ropaun.
Berikut ini wawancaranya dengan Yapto Prahasta dari Indonesia REPORTS :
Bagaimana menurut Anda kondisi hukum saat ini?
Kondisi hukum kita saat ini bisa dikatakan semraut, amburadul bahkan ironisnya lagi sudah qou vadis. Artinya kita tidak mengerti lagi tata cara pembuatan undang-undang itu tujuannya apa. Undang-undang dibuat hanya untuk kepentingan kelompok dan kepentingan sesaat. Seharusnya peraturan perundang-undangan berguna untuk menciptakan kehidupan bernegara yang tertib dan aman serta dapat menjadi pedoman hukum bagi warna negara. Kita memerlukan undang-undang yang berkualitas.
Maksudnya?
Sekarang ini banyak kita temukan undang-undang membuat kriminalisasi, undang-undang membuat malapetaka, membuat kerancuhan, tumpang tindih.
Undang-undang apa saja?
Kita ambil contoh UU No 18/2003 tentang Advokat yang konflik kewenangan dengan UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Kita tahu tujuannya dibuat UU Pendidikan Tinggi ini sangat bagus sekali. Namun pembuatan undang-undang ini tidak memenuhi kriteria layaknya sebuah produk undang-undang yang baik agar dapat diimplemantasikan sepenuhnya. Di UU Advokat mengatur bahwa pendidikan profesi advokat itu diselenggarakan oleh organisasi yang bebas dan mandiri. Tapi di UU Pendidikan Tinggi pendidikan itu harus di perguruan tinggi. Jadi mana yang mau kita patuhi? Ini kan terkesan pembuatan undang-undang tidak ada harmonisasi, sinkronisasi agar tidak tumpang tindih dengan undang-undang yang lain.
Anda pernah mengatakan UU Narkoba tidak ubahnya seperti undang-undang kriminalisasi. Kenapa?
Di dunia ini tidak ada yang namanya hukum atapun teori-teori yang kita mengenal ada korban ada pelaku, itulah yang disebutkan suatu kejahatan. Itu tadi kejahatan ya. Pelanggaran ada seusatu yang harus dipatuhi dan yang harus dilaksanakan, tidak melakukan dan harus melakukan. Akan tetapi perbuatan itu juga harus ada pelakunya, harus ada korbannya. Kedua teori tadi baik itu kejahatan maupun pelanggaran. Dimana letak keadilannya sudah jutaan anak bangsa ini dipenjara. Siapa korbannya? Siapa pelakunya? Ini antara korban dan pelaku tidak bisa dipisahkan dalam undang-undang itu. Pokoknya siapa yang menyentuh barang itu, harus masuk penjara. Yang korban siapa? Tidak ada! Pelakunya siapa? Tidak ada! Lalu kemudian kita gelorakan perang terhadap narkoba. Siapa lawannya? Kita akan benturan dengan aparatur? Nah ini yang tidak benar dari pembuatan undang-undang itu sendiri.
Jadi harus jelas ya aturannya?
Iya, ada pelaku ada korban. Barulah masuk yang namanya semiotika teori, dari disiplin ilmu. Ini tidak jelas korbannya siapa. Apalagi sekarang ini, misalnya ada under by cover. Aku tidak suka sama kamu, aku kirimlah kado ke rumah kamu, isinya narkoba kemudian kamu ditangkap. Masuk penjara. Inilah contoh produk-produk hukum yang amburadul. Tidak jelas hukum kita ini. Apakah azas legalitas atau azas retroaktif? Ini yang kita tidak mengerti dan teknik-teknik pembuatan undang-undang juga amat sangat merosot. Sekarang ini kita kembali ke zaman orde baru bahwa hukum itu menjadi alat kekuasaan.
Menurut Anda bagaimana dengan penegak hukum sekarang ini?
Penegakan hukum sekarang sangat memprihatinkan. Menurut saya rezim Jokowi sudah melanggar konstitusi sudah melanggar UUD’45 khususnya pada pasal pemerataan sama di depan hukum. Jokowi telah membinasakan hukum itu sendiri sebagai Presiden. Memangkas anggaran dalam penegakan hukum khususnya terhadap bantuan hukum. Jumlah perkara di Indonesia yang membutuhkan bantuan hukum hampir satu juta perkara per tahun. Tapi anggaran yang disiapkan untuk bantuan hukum itu sekarang ini kalau tidak salah hanya Rp 18 miliar per tahun. Jadi kalau satu perkara Rp 5 juta dibagi Rp 15 miliar berapa perkaralah itu yang bisa dibantu.
Tentu ini tidak adil bagi masyarakat tidak mampu yang membutuhkan bantuan hukum?
Saya punya cabang bantuan hukum di seluruh Indonesia sudah mengeluh. Kenapa? Niat kita sebagai relawan sudah oke membantu orang miskin/orang tidak punya yang tersangkut perkara. Tapi negara menganggarkannya asal-asalan, tidak jelas. Ini bukan hanya aparatur pelaksana hukum yang melanggar, justru rezimnya Jokowi sendiri yang sudah tapi sudah melanggar hukum. Waktu SBY anggaran untuk bantuan hukum hampir Rp 60 miliar per tahun, sekarang Rp 18 miliar. Ini kan pilih kasih, pilih bulu. Jadi dimana hak-hak masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum?
Jika yang Anda katakan itu benar, lalu bagaimana lagi tanggung jawab Presiden terhadap kepolisian dan kejaksaan?
itu kita enggak tahu lagi kalau sampai sejauh itu. Tapi yang berjalan sekarang ini ya seperti inilah.
Bagaimana Anda menilai mengenai pemberantasan mafia hukum?
Pemberantasan mafia hukum itu enggak ada. Hanya slogan, justru yang ada maling teriak maling. Yang memberantas-memberantas mafia hukum justru dia mafianya. Kenapa? Saya tidak pernah menangani perkara-perkara besar. Justru yang saya tangani seluruh Indonesia ini, perkara-perkara orang tidak mampu. Apa yang mau saya sogok ke aparatur? Dari mana duitnya? Klien pun terkadang kita kasih makan. Jadi yang mereka teriak-teriak memberantas mafia peradilan itu justru mereka adalah mafianya. Mestinya yang meneriakan seperti itu adalah saya. Kenapa? Saya membela masyarakat termarginal, seluruh Indonesia. Saya punya fakta, tanya saja di BPHN. Keberadaan Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia (POSBAKUMADIN) dimana saja, seluruh Indonesia, setiap pengadilan kita ada, itu anggota saya semuanya disana. Itulah kira-kira kondisi hukum kita yang memprihatinkan sekarang ini. Makanya Insya Allah, saya akan membuat suatu teater hukum, mudah-mudahan teater hukum ini dapat memberikan gambaran untuk menjawab setiap persoalan.
Hukum seperti apa yang didambakan Peradin selain peradilan yang bersih?
Kalau peradilan yang bersih sejak jaman Aristoteles tidak ada, karena melekat pada kehidupan. Setidak-tidaknya kita dambakan pada jaman keemasan orde baru, hukum itu sedikit berwibawa walaupun kadangkala masih memilukan. Tapi kalau sekarang kita tidak tahu lagi peradilan mana yang adil itu. Yang didambakan itupun bagaimana peradilannya, kita tidak tahu. Kenapa? Kalau dikatakan aparaturnya yang salah atau hukumnya yang salah, menurut saya dua-duanya.
Bagaimana dengan advokatnya?
Advokad itu adalah ujung tombaknya mafia peradilan. Sepanjang advokat ini tidak dapat ditertibkan, mafia peradilan tidak akan mungkin dapat dibumihanguskan dari permukaan bumi ini.