ICJR Minta Presiden Jokowi Hapus Hukuman Cambuk di Aceh
Minggu, 05 Februari 2017 | 23:03 WIB / Yapto Prahasta
Seorang terpidana menjalani eksekusi cambuk di halaman masjid Al-Badar, Desa Kota Baru, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, Aceh
Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta pemerintah Jokowi-JK menghapus hukum cambuk di Indonesia. Terkait itu Kementerian Dalam Negeri didesak mengevaluasi Qanun Jinayat.
Catatan ICJR, pengenaan hukum cambuk di Aceh meningkat sejak 2015. Sepanjang 2016 saja, ICJR mencatat sedikitnya 339 terpidana telah dieksekusi cambuk di seluruh wilayah Aceh.
Di tahun tersebut, sedikitnya 37 perempuan dikenakan hukuman cambuk di Aceh. Mayoritas mereka terkena pasal-pasal kesusilaan seperti khalwat, ikhtilat, mesum, dan zina.
"ICJR lebih prihatin lagi karena hukuman cambuk yang diberikan semakin berat, sampai dengan 100 deraan cambuk. Artinya klaim hukuman hukuman cambuk yang digunakan untuk mempermalukan terpidana (efek jera) tidak bisa lagi dipertahankan, dan secara perlahan-lahan hukuman ini berubah menjadi hukuman bengis yang bersifat melukai-merusak tubuh," kata Peneliti ICJR, Ajeng Gandini Kamilah melalui siaran pers, Minggu (5/2).
Pada tahun 2016 ICJR mencatat ada 6 kasus hukuman cambuk yang mengeksekusi 100 cambukan terhadap 6 orang pasangan karena pidana zina.
Sementara itu, pada 2 Februari 2017 lalu , tiga warga Aceh dicambuk di depan umum di halaman Masjid Al-Muchsinin, Gampong Jawa, Kota Banda Aceh karena terbukti melakukan iktilat (bercumbu).
Ajeng mengatakan, Kementerian Dalam Negeri telah mengirimkan catatan kepada Pemerintah Provinsi dan DPRD Aceh, 2014 lalu tentang Qanun Jinayat, sistem aturan yang salah satunya berisi hukum cambuk.
"Berdasarkan hasil kajian Tim Kemendagri bersama dengan kementerian terkait, beberapa substansi Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat bertentangan dengan sejumlah undang-undang," tegasnya.
UU yang dimaksud antara lain, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Selain itu, Kop Qanun Jinayat bertentangan dengan Lampiran huruf A Permendagri No. 54 Tahun 2009 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Daerah.