KLHK Manfaatkan Lahan untuk Pengembangan Wisata Alam
Jakarta-Keindahan matahari terbit (sunrise) di sepanjang jalur Gunung Bromo yang ditempuh dari arah Poncokusumo nampaknya menjadi destinasi wisata andalan baru Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang.
Pasalnya, wisatawan yang melintasi daerah tersebut akan disuguhkan dengan panorama alam indah dari bukit Kingkong dan bukit Cinta.
Jika ingin menikmati sunrise dengan leluasa saat menuju Gunung, wisatawan bisa menempuh perjalanan dari desa Ngadas, Gubuklakah dan Poncokusomo.
Khususnya desa Ngadas, Gubugklakah, dan Poncokusumo mampu menggairahkan dunia pariwisata di daerahnya. Pasalnya, ketiga daerah tersebut menjadi pintu masuk yang sangat penting bagi wisatawan yang akan menuju Bromo, Tengger, Semeru (BTS).
Ngadas merupakan salah satu dari 36 desa Suku Tengger yang tersebar dalam empat kabupaten/kota. Terletak di tengah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Ngadas terkenal dengan produksi kentangnya yang melimpah tersebut ditetapkan menjadi desa wisata oleh pemerintah Kabupaten Malang pada tahun 2007.
Pada tahun 2017, mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 Desa Ngadas ditetapkan sebagai desa adat oleh Pemerintah Kabupaten Malang. Dengan adanya penetapan tersebut, Desa Ngadas menjadi desa dengan 2 label sekaligus, yaitu Desa
Wisata dan juga Desa Adat secara bersamaan.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno, mengatakan kawasan konservasi di Jemplang, Ngadas, Poncokusumo, Malang itu memang akan dijadikan tempat wisata. Namun rencananya, wilayah itu akan dijadikan tempat wisata alam, bukan wisata buatan.
"Yang di Jemplang itu [memang ada] izin wisata alam, bukan wisata buatan. Kalau pembangunan wisata jembatan kaca itu di Probolinggo, bukan di Jemplang," kata Wiratno seperti dikutip dari CNNIndonesia.com, Kamis (9/9).
Ia juga menepis upaya pembangunan infrastruktur wisata dengan cara pembabatan hutan di kawasan konservasi tersebut. Menurutnya, beberapa pohon memang ditebang untuk keperluan wisata dan akan ditanami kembali.
Wiratno juga mengklaim bahwa pihaknya hanya membabat pohon dan tanaman yang berpenyakit, atau dianggap sebagai hama tumbuhan sebagai upaya eradikasi.
"Yang dibilang dibabat hutannya sebenarnya dieradikasi, jadi diganti, ditanami tanaman asli seperti cemara gunung," kata dia.
Pengelolaan Konservasi
Potensi keanekaragaman hayati dan ekosistem Taman Nasional yang kaya perlu dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, perlu dijaga kelestariannya, dan dikelola dengan prinsip “3P” (Perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pengawetan sumber plasma nutfah, serta Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya).
Dikutip dari http://ksdae.menlhk.go.id, dalam acara Pembinaan Forum Jasa Wisata yang berlangsung pada 10 April 2018 di Ruang rapat Suryakancana Balai Besar TNGP, Kepala Sub Direktorat Pemanfaaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam, Direktorat Jenderal KSDAE, Kementerian LHK S.Y. Chrystanto mengungkapkan, dasar pengelolaan kawasan konservasi, strategi pengembangan pariwisata alam, jenis usaha yang bisa dilakukan dalam kawasan konservasi, lokasi yang bisa dimanfaatan untuk wisata alam, pelaku usaha, jangka waktu, prosedur, dan kewajiban pihak pengusaha.
Menurut Chrystanto terdapat dua jenis izin pengusahaan pariwisata alam yang bisa diberikan di dalam Taman Nasional, yaitu Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) dan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA).
Untuk IUPJWA dapat berupa izin usaha jasa informasi pariwisata, pramuwisata, transportasi, perjalanan wisata, cinderamata, makanan, dan minuman. Pelaku usaha bisa perorangan, badan usaha dan koperasi.
Jangka waktu IUPJWA perorangan adalah selama dua tahun dan bisa diperpanjang selama dua tahun berikutnya. Jangka waktu IUPJWA badan usaha dan koperasi selama lima tahun bisa diperpanjang selama tiga tahun.