UU Cipta Kerja Abaikan Aspirasi Rakyat
Jakarta-Disahkannya Omnibus Law Cipta kerja, jelas menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap DPR dan pemerintah.
Pengesahan UU Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna DPR pada Senin, 5 Oktober lalu, disinyalir tidak melindungi hak-hak rakyat terutama kaum buruh.
Pengesahan UU ini lebih cepat dari yang dijadwalkan sebelumnya yakni, 8 Oktober, dengan alasan mengurangi laju penularan virus Covid-19.
Pengesahan UU yang lebih dikenal dengan UU Sapu Jagad, ini mendapat penolakan dari berbagai kelompok buruh di daerah.
Meski hanya unjuk rasa di kantor DPRD atau di pabrik masing-masing, pihak kepolisian juga berusaha menghalau mereka dengan alasan menekan penularan pandemi virus Covid-19.
Meski demikian, hari ini sejumlah asosiasi buruh tetap menggelar aksi unjuk rasa menuju ke Istana Negara. Mereka berkumpul di Jalan Thamrin dan berupaya membus Jalan Medan Merdeka barat menuju istana.
Dalam agendanya, juga akan melakukan mogok kerja nasional selama tiga hari berturut-turut dari 8 Oktober sampai 10 Oktober.
Ketua Umum Corruption Investigation Committee (CIC) R Bambang mengatakan, Pengesahan UU Cipta Kerja ini semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
"Tingkat kepercayaan rakyat terhadap DPR dan pemerintah semakin menurun. Aspirasi rakyat kecil tidak dengarkan, tetapi UU Cipta Kerja jalan terus,” ujarnya.
Ia menyebutkan, pengesahan RUU pada 5 Oktober, menjadi puncak kritik dari kaum buruh.
"Pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan puncak penghianatan negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, lingkungan hidup serta generasi mendatang," kata Bambang kepada wartawan, Rabu (7/10) di Jakarta.
Yang sangat ironi, kata Bambang, penolakan dari berbagai elemen masyarakat tidak menyurutkan langkah DPR dan pemerintah untuk melanjutkan UU Cipta Kerja ini. Bahkan, DPR dan pemerintah seakan tutup mata dan telinga terhadap aspirasi rakyat yang dianggap angin lalu.
Menurut Bambang, kondisi ini menjadi cermin kemunduran demokrasi di Indonesia. Karena, pengesahan UU, ini mengabaikan kepentingan hak asasi manusia dan kaum buruh.
Karena itu, ia berharap institusi penegak hukum yakni KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri bisa melihat ke belakang dari proses lahirnya UU ini. Tidak menutup kemungkinan, ada praktik "gratifikasi" dan “suap” dari kalangan pengusaha.
"Saya yakin dalam masalah ini ada "permainan atau persekongkolan" antara pihak pengusaha dan oknum agar Omnibus Law disahkan,” tutupnya.