Inalum Kaji Kenaikan Porsi Kepemilikan di Bukit Asam
Jakarta - Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) sedang mengkaji untuk menaikkan porsi kepemilikannya di PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Hal itu dikatakan Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum Rendi A. Witular.
Menurutnya Inalum yang saat ini memegang 65 persen saham PTBA sedang mengkaji secara seksama untuk menaikkan kepemilikan di perusahaan tersebut. Kajian itu tak lepas dari semakin menjanjikannya prospek bisnis PTBA yang ditopang dengan penjualan batu bara berkalori tinggi, pembayaran dividen yang besar, efisiensi operasional serta rencana hilirisasi.
“Sedang dikaji secara serius. PTBA mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap laba konsolidasi holding,” kata Rendi, dalam keterangan tertulis, Senin(1/4).
Ia menjelaskan prospek PTBA dalam jangka pendek akan ditopang oleh penjualan batu bara kalori tinggi (high calorie value/HCV). Pada 2019 ini penjualan HCV PTBA mencapai 3,8 juta ton. Angka itu lebih tinggi dari HCV yang telah diproduksi pada 2018 yang masih di bawah 1 juta ton.
PTBA pun menyasar premium market dalam penjualan batu bara kalori tinggi ini. Salah satunya adalah Jepang. Hingga kini, PTBA telah memegang kontrak jual beli batubara kalori tinggi ke pasar Srilanka, Taiwan, Filipina dan Jepang.
Sementara itu, di Indonesia cadangan batubara kalori tinggi sendiri sudah tidak banyak lagi dan memiliki nilai jual yang tinggi. Selain itu, pembayaran dividen PTBA yang akan dipertahankan adalah pada level 75 persen dari laba bersih. Hal inilah yang menjadi pemicu Inalum untuk menaikkan kepemilikan.
“Inalum akan mengusulkan pembagian dividen PTBA sebesar 75 persen dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang akan diselenggarakan pada 25 April mendatang. Rasio dividen tersebut sama dengan tahun lalu,” ungkap Rendi.
Jika terealisasi, PTBA diperkirakan akan mendistribusikan kepada pemegang sahamnya sekitar Rp 3,76 triliun dari laba bersih tahun lalu sebesar Rp 5,02 triliun. Laba tersebut merupakan yang tertinggi sejak perseroan beroperasi di tahun 1981.
Rendi menjelaskan besaran dividen tersebut tidak akan menganggu kebutuhan finansial PTBA untuk kegiatan ekspansi. Mengingat posisi kas perseroan tersebut masih sangat mencukupi yaitu sebesar Rp 6,30 triliun per 31 Desember 2018 atau meningkat 77 persen dibandingkan tahun 2017.
Adapun cash ratio atau cash and equivalent PTBA terhadap liabilitas jangka pendek per 31 Desember 2018 mencapai 128 persen. Angka ini jauh lebih tinggi daripada cash ratio per 31 Desember 2017 yang hanya 79 persen.
“Hal ini menunjukkan peningkatan signifikan terhadap likuiditas perseroan dan kemampuannya dalam memenuhi kewajiban jangka pendek,” tutur Rendi.
Sedangkan, terkait dengan upaya efisiensi biaya operasional, PTBA akan diuntungkan dengan berbagai pola sinergi antar anggota Holding dan antar BUMN. Salah satu contohnya adalah kontrak pengadaan bahan bakar minyak (BBM) dengan PT Pertamina (Persero) melalui skema satu harga untuk seluruh anggota holding.
“Dari sinergi pengadaan BBM saja setiap anggota holding bisa berhemat puluhan miliar,” tutur Rendi.
Sinergi lain yang saat ini sedang dijajaki termasuk upaya untuk meningkatkan daya tawar untuk mendapatkan bunga deposito perbankan yang kompetitf. Saat ini Inalum memiliki kas dan setara kas konsolidasi sebesar Rp22 triliun.
Terkait dengan prospek jangka panjang PTBA, Inalum memastikan transformasi bisnis perseroan ke sektor hilirisasi akan berjalan sesuai dengan rencana. Dengan demikian pertumbuhan pendapatan dan laba tidak lagi bergantung pada penjualan batubara.
Perlu diketahui, pada tahun ini PTBA sudah memulai tahapan konstruksi PLTU Mulut Tambang Sumatera Selatan ke-8. PLTU dengan kapasitas 2 x 620 megawatt (MW) yang rencananya akan mulai beroperasi di tahun 2022 merupakan PLTU mulut tambang terbesar di Indonesia.
Tak hanya itu, PTBA bersama Pertamina juga akan memulai pengembangan fasilitas gasifikasi batubara yang dapat menghasilkan synthetical gas (syngas) hingga Dimethyl Ether (DME) yang bisa mensubstitusi Liquified Petroleum Gas (LPG) rumah tangga. Fasilitas gasifikasi tersebut diharapkan dapat berproduksi pada 2023.