Garuda Indonesia Butuh Waktu 1 Tahun agar Keuangannya Stabil
Senin, 12 Juni 2017 | 15:03 WIB / Sofia Andhareswara
Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Pahala N Mansury.
Jakarta - Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, Pahala N Mansury mengatakan, perseroan butuh waktu 1 tahun mengembalikan kondisi keuangan menjadi stabil pasca kerugian yang mencapai kurang lebih Rp 1,31 triliun pada kuartal I 2017.
"Likuditas, neraca, dan indikator-indikator lainnya masih sangat positif, sampai akhir tahun ini tipis-tipis. Akhir tahun depan (stabil), proses perbaikan makan waktu 9-12 bulan ke depan," ungkap Pahala di kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Minggu (11/6).
Pahala mengatakan, pihaknya saat ini terus berupaya memperbaiki kondisi keuangan yang ada, pasca sempat merugi yang dialami Garuda di awal tahun ini. Terlebih dengan adanya kekhawatiran banyak pihak maskapai milik negara itu akan bangkrut.
"Ketakutan banyak pihak harus digunakan sebagai masukan bagi Garuda. Memang kami tiga bulan pertama mengalami kerugian. Tapi bukan terus kami lihat ada potensi bangkrut. Itu justru jadi momentum positif buat kami melakukan perbaikan-perbaikan, baik dari perbaikan kinerja, rute, cost, dan lainnya, itu yang akan kami lakukan," kata dia.
Mantan petinggi Bank Mandiri tersebut optimistis maskapai perusahaannya dalam waktu kurang lebih satu tahun ke depan, kondisi keuangannya akan membaik.
"Kami optimis dalam 9-12 bulan kedepan kondisi Garuda akan sangat berbeda dibanding sebelumnya. Saat ini jumlah penumpang yang kita angkut terus alami peningkatan," kata dia.
Seperti diketahui, Garuda Indonesia membukukan rugi bersih atau rugi yang diatribusikan ke entitas induk sebesar 98,5 juta dollar AS pada tiga bulan pertama 2017, atau sekitar Rp 1,31 triliun (kurs 13.300). Namun, rugi periode berjalan adalah sebesar 99,1 juta dollar AS.
Dibandingkan kuartal I tahun lalu, emiten dengan kode saham GIAA itu masih mencetak laba bersih atau laba yang diatribusikan ke entitas induk sebesar 1,02 juta dollar AS. Sedangkan laba periode berjalan adalah sebesar 800.000 dollar AS.
Kerugian bersih tersebut utamanya disebabkan kenaikan harga bahan bakar avtur. Dalam setahun terakhir, biaya bahan bakar naik 54 persen dari 189,8 juta dollar AS menjadi 292,3 juta dollar AS.
Kenaikan biaya bahan bakar tersebut secara signifikan membuat total biaya operasional meningkat 21,3 persen dari 840,1 juta dollar AS menjadi 1,01 miliar dollar AS atau mencapai 20-30 persen dari biaya operasional.
Penerimaan yang naik 6,2 persen dari 856 juta dollar AS menjadi 909,5 juta dollar AS tak mampu mengkompensasi tingginya biaya. Selain karena harga avtur, beberapa rute penerbangan baik domestik maupun mancanegara mengalami kerugian.
Setidaknya ada 10-20 rute dalam daftar yang tengah dikaji oleh pihak maskapai mengenai keberlanjutannya.
Berbagai upaya efisiensi untuk menekan kerugian. Akan tetapi, dikarenakan bahan bakar merupakan biaya yang di luar kendali, maka efisiensi tidak hanya dilakukan dari sisi operasional. kompas